Pentingnya Keahlian
Bukanlah tingkat pendidikan yang membantu seseorang dalam bertahan hidup, tetapi keahlianlah yang membantunya dalam berjuang untuk mendapatkan penghidupan.
Bisa dikatakan bahwa perbandingan pentingnya keahlian dapat disimbolikkan seperti halnya seseorang yang hanya lulusan sekolah dasar namun memiliki keahlian dalam mensol sepatu, itu masih lebih baik daripada seorang sarjana yang tidak mempunyai keahlian (hal ini dapat disimpulkan secara objektif dari jurusan fakultas-fakultas yang bersifat non skill). Hal ini bukanlah majas hyper bola atau yang sejenisnya, namun ini adalah realitas yang kadang terlewat dari pikiran alam kesadaran kita.
Orang yang inferior juga memiliki masalah untuk mengambil peran yang kedua. Hal ini dikarenakan bahwa kecerdasan adalah bakat dan anugerah dari Allah yang dimiliki oleh keturunan yang diwariskan genetik tertentu. Orang yang inferior mungkin dapat saja belajar dengan tekun dan rajin, namum kecepatan dan spontanitas dalam berpikir dan bertindak menjadi jurang yang curam antara orang berlevel superior dan orang yang hanya berlevelkan inferior.
Lain halnya jika seorang yang memiliki level inferior dalam mengambil peran yang ketiga yaitu “orang yang memiliki keahlian.”
Bagi mereka yang memiliki kecerdasan yang kurang atau dapat kita sebut dengan “inferior” ini, dapat memiliki peluang dan peran jika untuk menjadi orang yang ketiga, yaitu orang yang memiliki keahlian. Karena keahlian itu bersifat fokus dan spesialis, dengan perkataan lain, hanya satu bidang saja yang dilatih dan hal ini membuka kemungkinan bagi mereka dalam penguasaan bidang tersebut. Tentunya bakat bukan masalah karena keahlian memiliki opsi yang banyak yang sesuai dengan minat dan bakat mereka masing-masing.
Hal yang secara simbolik bisa kita temukan pada suatu profesi yang kita kenal dengan nama dokter.
Jika kita pernah pergi ke rumah sakit kita mengetahui bahwa profesi dokterlah yang akan menangani orang-orang yang sakit. Tidak mungkin seorang paranormal atau seorang tabib yang akan menangani orang-orang sakit di rumah sakit. Profesi yang mendominasi dan bersifat homogen adalah satu-satunya profesi yang menangangani orang-orang sakit di rumah sakit yaitu tidak lain adalah dokter.
Namun tidak jika kita lebih mengamati lagi bahwa dokter pun memiliki bagian-bagian tertentu dalam menangani kasus para pasiennya. Mereka memiliki spesialis masing-masing dalam menangani para pasiennya. Walaupun memang ada seorang dokter yang menangani kasus pasien secara umum, namun untuk penanganan khusus dan lebih lanjut pastilah tujuan akhir seorang pasien dalam proses penyembuhannya adalah seorang dokter spesialis.
Hal ini membuktikan dua hal jika kita mau mengambil kesimpulan: pertama: Segala sesuatu akan lebih baik bila ditangani orang yang benar-benar ahli.kedua: Orang yang cerdas sekalipun secara standarisasi ditempatkan pada satu bidang saja dalam masalah keahlian.
Manusia adalah makhluk sosial yang berarti bahwa mereka berinteraksi satu dengan yang lainnya. Mereka saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Mereka adalah variasi yang kontradiksi. Mereka memiliki kelebihan-kelebihan yang unik, kendatipun mereka memiliki kekurangan yang unik pula. Dengan berinteraksi itulah mereka saling mengisi kebutuhan mereka satu dengan yang lainnya dan dengan berinteraksi itulah mereka saling menututupi kekurangannya satu dengan yang lainnya.
Mereka berjalan seperti layaknya tim sepak bola. Tidak semua orang dalam tim sepak bola dapat menendang secara akurat. Seperti contohnya, ada pemain yang tidak dapat menendang secara akurat namun ia memiliki kelebihan lain seperti memberikan umpan yang akurat. Dengan dipadukannya oleh seorang striker akan menciptakan pola serangan yang efektif. Begitu pula sebaliknya, seorang striker yang dapat menendang secara akurat belum tentu dapat memberikan umpan secara akurat.
Masing-masing setiap individu manusia memiliki keahliannya masing-masing.
Kemampuan akademis bukan satu-satunya alat untuk mengukur atau parameter untuk menentukan mana manusia yang berhasil dan mana manusia yang gagal. Kita jangan menyerah dengan penilaian yang dituliskan oleh angka-angka yang membawa sugesti negatif pada diri kita sendiri. Orang lain tidak berhak memberikan penilaian sepihak yang berdasarkan dari kesimpulan atau rumusan angka. Kita sebagai individu memiliki keunikan tersendiri dan kebebasan untuk memilih. Karena itulah mulailah mencari kebebasan dalam memilih kekuatan yang Allah berikan dan mulai menggali minat dan bakat yang ada pada setiap diri kita masing-masing, karena orang yang memiliki kemauan dan berjuang untuk mendapatkannyalah yang akan menemukan keahlian yang sesuai dengan jati diri kita yang sejati.
Minat dan Bakat
Dalam memilih keahlian kita harus mempertimbangkan dua aspek penting “Minat dan Bakat.”orang memiliki minat dan bakat masing-masing sesuai dengan variasi karakter mereka. Jika kita berminat untuk melatih suatu keahlian, namun kita tidak memiliki bakat dalam bidangnya, maka kita mungkin akan memiliki dua kemungkinan. Pertama proses penguasaan yang memerlukan waktu yang lama dan tingkat kesulitan yang tinggi yang yang mau tidak mau harus kita lalui, walaupun mungkin yang pada akhirnya dapat kita kuasai juga. Kedua kita secara membabi buta, melatih kemampuan kita dengan menyita waktu, biaya, dan tenaga tanpa ada hasilnya sama sekali. Hal ini sama saja kita melakukan tindakan yang sia-sia dan lebih baik kita hindari dari tindakan membabi buta seperti ini. Karena jalan bukan hanya satu pilihan namun masih banyak jalan-jalan lainnya untuk menjadi kuat yang dapat kita raih.
Namun sebaliknya jika kita berbakat tapi kita tidak berminat, dalam penguasaan dan menjalani keahlian bidang tersebut, mungkin penguasaan dalam bidang tersebut dapat dilalui dengan tanpa kesulitan, namun jika kita tidak berminat, pada akhirnya kita hanya akan melakukannya setengah hati saja. Tidak ada kenikmatan dalam menjalankan apa yang tidak kita tidak minati.
Trial and Error dan Buka Wawasan
Bagi Anda yang ingin memiliki keahlian namun tidak tahu minat dan bakat Anda ada baiknya jika Anda mencoba-coba terlebih dahulu. Karena dengan bertindak kita sama halnya dengan memulai memasuki garis start dan berusaha untuk mencapai tujuan kita. Hal itu lebih baik daripada kita berada di satu titik tanpa memulai apapun.
Selain trial dan error untuk mencari keahlian apakah yang cocok untuk kita, kita juga dapat memulainya dengan membuka wawasan kita dari berbagai macam sumber. Seperti buku, media televisi, radio, atau dengan banyak bertanya kepada orang lain.
Jadikan Keahlian Sebagai Senjata Andalan
Hampir setiap makhluk hidup memiliki senjata andalan. Hal ini dapat kita lihat dalam kehidupan alam yang terjadi di sekitar kita. Seperti halnya serangga laba laba yang memiliki jaring dan racun sebagai andalanya. Ular yang menjadikan bisa beracun dan belitan sebagai andalannya. Cheetah yang menjadikan lari kencang, ketajaman gigi, dan kuku yang menjadi andalannya. Gurita yang menjadikan tinta dan tentakel sebagai andalannya, kurang lebihnya setiap makhluk memiliki dua atau tiga kemampuan sebagai senjata andalannya dalam bertahan hidup.
Pola yang seperti ini dapat kita terapkan dalam target kita untuk mencapai jati diri yang mandiri dalam mencari penghidupan. Seseorang tidak harus menjadi orang yang ‘multi talented’ ‘serba bisa.’ Secara umum setidaknya kita cukup menguasai satu keahlian namun fokus pada keahlian tersebut. Bahkan bagi seorang yang di bawah standar pun dapat menguasai satu bidang jika ia terus fokus pada bidang tersebut. Mempelajari keahlian dan menjadikannya sebagai senjata mematikan untuk bertahan hidup dalam “
Namun jika seseorang merasa tidak cukup atau ia merasa mampu, setidaknya ia dapat mencoba menguasai maksimal 3 keahlian yang ia jadikan sebagai “backup skill” atau keahlian yang saling mendukung satu sama lainnya, sebagai kombinasi keahlian yang efektif dalam bertahan hidup atau mencari penghidupan.
Berpendirian Dalam Penguasaan dan mengoptimalkan
Jika telah merasa menguasai keahlian, jangan tergiur untuk melihat dan mempelajari keahlian lain yang kelihatannya lebih menjanjikan atau kita pandang lebih kuat jika dibandingkan keahlian kita. Tindakan “Lapar Mata” seperti itu akan menghambat kita dalam memfokuskan dan mengasah keahlian yang sedang dan telah kita kuasai ke jenjang level yang lebih tinggi.
Mungkin kadang kita dihadapkan pada situasi dan kondisi dimana keahlian kita tidak efektif untuk digunakan. Sebisa mungkin kita jangan berputus asa terlebih dahulu jika merasa dihadapkan situasi yang demikian.
Di sinilah kita merasa tertantang untuk mencari cara bagaimana keahlian andalan kita dapat mengenai target sasaran. Kita harus merasa bangga dengan apa yang kita punya untuk tetap berjuang dengan kekuatan yang ada pada diri kita sendiri. dengan mengembangkan kreatifitas dan cara-cara yang cerdas untuk mengoptimalkan keahlian yang kita miliki. Bukan dengan melepas apa yang telah kita miliki.
Ciri Khas Diri Kita Sendiri.
Keahlian di jalani dengan tiga tahap, yang pertama adalah tahap menentukan: yaitu menentukan keahlian apa yang hendak kita kuasai. Kedua adalah :tahap penguasaan dan pelatihan yaitu dimana kita melatih keahlian setelah kita menentukan, dan yang terakhir adalah tahap yang ketiga: yaitu penerapan.
Dalam menjalani ketiga tahapan ini kita dapat dimudahkan dengan menjalani sesuai apa yang ada pada diri kita sendiri, dengan perkataan lain sesuai dengan ciri khas kita sendiri.
Contohnya dalam tahap pertama: kita menentukan keahlian kita yang sesuai dengan diri kita sendiri. Hal ini akan lebih memudahkan dalam menjalani tahap berikutnya karena sesuatu yang tidak jauh dari diri kita biasanya tidak jauh dari minat dan bakat kita itu sendiri.
Contoh dalam tahap kedua: dalam penguasaan suatu keahlian kita dapat berlatih dengan
Contoh tahap ketiga: kita dapat menerapkan keahlian yang sesuai dengan cirri khas kita masing-masing bukan “mengkiblat” pada orang-orang tertentu, walaupun hal ini bukan berarti kita tidak mendengarkan masukan orang. Namun yang dimaksud di sini adalah kita harus sadar bahwa setiap manusia mempunyai “filter” penyaring untuk dirinya sendiri. Jika ada hal-hal yang bermanfaat dari orang lain dapat kita terima untuk menambah wawasan kita, tetapi dengan catatan kita tidak menerima secara mentah-mentah, karena manusia memiliki cirri khas masing-masing dalam karakternya.
Esensial dari kepribadian itu unik, dan kita tidak dapat tiru dan orang lain tidak dapat tiru dari diri kita.
Dalam dunia desain grafis, seorang desainer dalam menciptakan karya grafis pada umumnya masih banyak yang kurang mempertimbangkan aspek psikologis. Kebanyakan mereka menitikberatkan pada segi estetis dan teknik yang kompleks, untuk mencapai segi estetis itu sendiri.
Memang dalam hal ini tergantung dari tujuan karya grafis itu diciptakan.
Segi estetis tidak dipungkiri dapat menarik perhatian dan memudahkan ingatan seseorang dalam mengingat. Namun dalam komunikasi grafis itu sendiri sebenarnya memiliki kompleksitas yang tinggi, karena banyak indikator yang mempengaruhi konsumen dalam mempersepsi.
Aspek psikologis sebenarnya unsur yang juga tidak kalah penting dalam penciptaan suatu karya desain grafis. Karena hal-hal ini berkaitan langsung dengan kliennya klien kita, yaitu para konsumen.
Dalam memperkenalkan suatu prdoduk, misalnya saja, seorang desainer dapat membuat suatu karya grafis untuk mengiklankan produknya yang mempertimbangkan aspek pskikologis dengan teknik “stereo type” (menghubungkan satu subyek atau objek dengan subyek atau obyek lainnya. Contoh: orang buta = tongkat = kacamata hitam = profesi tukang pijat).
Seperti contohnya iklan rokok yang selalu menstereo typekan warna dengan produk rokok. Seperti hijau, merah dll. Hal ini dilakukan untuk memasukan produk ke dalam memori otak untuk ingatan jangka panjang. Sehinga konsumen tidak harus melihat produk secara langsung untuk mengingatkan konsumen, namun cukup melihat warna dari warna yang telah distereotypekan maka secara tidak langsung akan mengingatkan dengan produk tersebut, tanpa harus melihat produk secara langsung. Apalagi iklan rokok tidak boleh memperlihatkan rokok secara langsung berkenaan dengan perundang-undangan hukum negara, maka dari itu, teknik yang seperti ini menjadi ujung tombak dari strategi iklan rokok.
Pertimbangan aspek psikologis lainnya, seorang desainer dapat menggunakan teknik iklan karya grafisnya, dengan pertimbangan aspek psikologis “self image” konsumen.
Masih banyak konsumen yang membeli suatu produk bukan berdasarkan kebutuhan, namun mereka membeli suatu produk berdasarkan keinginan. Salah satu dari banyak konsumen membeli suatu produk untuk memperkuat self image atau pandangan terhadap dirinya sendiri. Ini dikarenakan bahwa kadang seorang individu (dalam hal ini konsumen) sedang dalam vase atau tahap pencarian jati dirinya (terutama remaja). Sehingga ia ingin ada sesuatu yang melengkapi, memperkuat, dan melekat pada dirinya sesuai dengan pandangan diri yang ingin ia bangun dan keinginan membuat image agar orang lain menilai sesuai dengan pandangan tersebut.
Kita bisa mengambil contoh kasus misalkan si A adalah seorang lulusan S1 Akuntansi yang memiliki pekerjaan dengan gaji yang menjanjikan. Si A berusia relatif masih tergolong muda. Ia mempunyai sepeda motor bebek namun ia masih ingin membeli motor sport. Hal ini dikarenakan secara tidak disadari ia ingin memiliki image yang “mandiri” dan “dewasa” untuk membangun self image dirinya dan ia ingin orang menilai sesuai dengan apa yang ia inginkan. Kendati kadang ia merasionalisasikan keinginan dari ketidaksadarannya dengan pembenaran atau alasan dari keinginannya yang kurang bisa diterima oleh akal (yaitu beralasan memiliki motor sport dengan berbagai macam alasan-alasan untuk menguatkan keinginannya dalam membeli motor sport tersebut.
Contoh kasus seperti seperti si A dapat kita temukan di lapangan jika saja kita mau terjun dan mengamati dengan teliti para konsumen. Kita dapat merumuskan si A yang tidak membutuhkan motor sport karena ia memiliki motor bebek. Di sini si A menginginkan tapi ia tidak membutuhkan. Tujuan primer dari keinginan si A yaitu membuat image “mandiri” dan “kedewasaan.” Sebagai pemicu dari tindakannya dalam membeli motor. Inilah yang kita jadikan sebuah dua elemen yang penting jika kita dalam posisi sebagai desainer dari iklan sebuah produsen motor sport.
Memasukan elemen “kemandirian” dan “kedewasaan.” dapat kita titikberatkan dalam pembuatan iklan desain kita sehingga memancing psikologis konsemen dan merangsang keinginan konsumen agar lebih tertarik dengan iklan yang kita buat.
Teknik-teknik psikologis inilah yang kadang terlewat oleh para desainer dalam menciptakan karya grafisnya sehingga segi estetis kebanyakan mendominasi dalam pembuatan iklan grafis.
Mungkin kita dapat lebih mempertimbangkan konsep yang jelas dan tidak hanya mendesain yang menitikberatkan pada segi estetika saja. Tetapi mulai menyadari bahwa indikator-indikator lainnya yang mempengaruhi psikologis konsumen juga sama pentingnya dengan nilai estetika itu sendiri.